Sabtu, 06 Februari 2010

Lapan Garap Satelit Tele-Edukasi 'Ki Hadjar Dewantara'

Pendidikan jarak jauh? Mungkin hal itu hanya menjadi angan-angan pelajar kita. Kalau pun sudah bisa dinikmati, bisa dipastikan hanya segelintir pelajar dan mahasiswa yang mampu saja. Maklum, untuk mengakses pendidikan jarak jauh, diperlukan berbagai piranti yang didukung dengan biaya mahal.
Namun, dalam waktu dekat, pendidikan jarak jauh dimungkinkan bisa diakses semua pelajar dan mahasiswa di Indonesia. Hal itu bisa terwujud, karena saat ini Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) tengah menggarap satelit tele-edukasi yang bernama satelit Ki Hadjar Dewantara.
Satelit tele-edukasi Ki Hadjar Dewantara merupakan salah satu dari banyak program pengembangan roket dan satelit sebagai wujud nyata kemajuan dunia antariksa Indonesia.
Kepala Lapan, Adi Sadewo Salatun, menyebutkan penggarapan satelit yang bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional ini memang masih dalam tahap studi kelayakan dan penentuan definisi misi dari satelit itu sendiri.
Namun begitu, Adi memberikan sedikit bocoran bahwa satelit Ki Hadjar Dewantara rencananya akan digunakan untuk menunjang program tele-education atau pendidikan jarak jauh untuk siswa siswi sekolah di Indonesia.
“Satelit ini berfungsi untuk menghadirkan pendidikan berkualitas dari perkotaan ke pedesaan yang sulit dijangkau karena masalah infrastruktur pendidikan. Nantinya, fasilitas transponder pada satelit memungkinkan pengajar melakukan komunikasi kepada siswa yang berada dalam cakupan seluruh Indonesia bahkan se-Asia,” kata Adi Senin(9/11), pekan kemarin.
Tidak murah untuk menggarap proyek satelit tele-edukasi Ki Hadjar Dewantara ini. Setidaknya, Lapan membutuhkan dana sebesar 200 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau Rp 1,8 miliar. Namun dana sebesar itu, sepenuhnya bakal ditanggung Dinas Pendidikan Nasional.
Sistem Satelit Ki Hadjar Dewantara terdiri dari ruas antariksa yang berupa satelit yang di dalamnya ada fasilitas transponder untuk melakukan komunikasi dan ruas bumi yang terdiri dari antena pengirim dan penerima isi komunikasi.
Satelit ini nantinya memfasilitasi diseminasi pengetahuan perkotaan ke pedesaan mengenai kesehatan, kebersihan dan pengembangan kepribadian. Selain itu, satelit yang rencananya akan diluncurkan dioperasikan pada 2014 ini bisa juga dimanfaatkan untuk membantu para profesional dalam meningkatkan pengetahuan, serta menjadi solusi permasalahan kurangnya tenaga pengajar terlatih di wilayah terpencil.
Proyek satelit tele-edukasi Ki Hadjar Dewantara sebenarnya merupakan proyek satelit terbaru setelah dua satelit Lapan bakal diluncurkan 2011 mendatang. Kedua satelit yang bakal meluncur tahun 2011 itu adalah satelit Lapan-A2 dan Orari. Lapan menyebut kedua satelit itu dengan nama Twinsat atau satelit kembar.
Sebelumnya, pada 2007 Lapan telah berhasil membuat satelit Tubsat yang hingga saat ini masih beroperasi dengan baik. Tubsat yang merupakan satelit mikro pertama milik Lapan tercatat telah banyak memberikan data berupa video pengamatan dari berbagai wilayah di Indonesia maupun dari luar negeri.
Namun, Thubsat hanya bisa melewati wilayah Indonesia sebanyak empat kali dalam 24 jam karena berada pada orbit polar. Artinya Thubsat berputar dari kutub ke kutub.
Oleh karena itu, agar bisa mengamati wilayah Indonesia lebih luas lagi, maka Lapan pun meluncurkan satelit kembar. Berbeda dengan Thubsat, Satelit Lapan-A2 dan Orari akan ditempatkan pada orbit equatorial.
“Satelit kembar mengitari orbit equatorial, fokus mengamati wilayah Indonesia. Dengan berputar pada orbit equatorial, pengamatan wilayah Indonesia dapat dilakukan dengan lebih sering karena satelit akan melewati wilayah Indonesia hingga 14 kali sehari,” kata Adi Sadewo.
Satelit Kembar
Adi menyebutkan dua satelit ini memiliki fungsi yang saling melengkapi. Satelit Lapan-A2 mempunyai fungsi melakukan pengamatan permukaan bumi, sedangkan satelit Orari mempunyai misi bantuan komunikasi saat bencana dan penginderaan jauh.
Satelit kembar mulai digarap pada 2007 dan siap diluncurkan di India pada Tahun 2011, bekerjasama dengan lembaga antariksa India, ISRO (Indian Space Research Organization). Sama seperti peluncuran Thubsat, Lapan membonceng roket PSLV milik India.
“Kita masih harus membonceng atau istilahnya piggybacking menggunakan roket India. Pasalnya, roket kita baru rampung 2014 dan belum bisa dipakai untuk meluncurkan satelit. Kebetulan India melakukan peluncuran satelit Astrosat miliknya pada 2011, maka Lapan kemudian membonceng roket PSLV untuk meluncurkan kedua satelit itu,” kata Adi.
Adi juga menyebutkan kalau roket PSLV memiliki trayek yang persis melewati wilayah Indonesia karena mengelilingi equator pada 6 derajat inklinasi. Dengan demikian, dua satelit Lapan yang masing-masing memiliki bobot 70 kg itu bisa berputar secara equatorial di wilayah khatulistiwa.
Menurut Adi, sejak diluncurkan pada 2007 silam, satelit Tubsat telah memberikan banyak manfaat terutama dalam penginderaan jauh serta telekomunikasi bagi pemantauan pertanian dan kelautan Indonesia.
“Hingga saat ini kondisinya masih sangat baik. Tubsat menjadi satu-satunya satelit di dunia yang menghadirkan data berupa video, yang ditayangkan secara langsung,” kata Adi Sadewo.
Untuk satelit biasa, setidaknya dibutuhkan waktu hingga 15 hari untuk menerima gambar. Namun, satelit Tubsat memiliki kelebihan dengan menghadirkan data dalam bentuk video secara langsung pada saat kejadian (real time).
Beberapa hasil video rekaman Tubsat yang sangat berguna di antaranya, rekaman pada saat terjadi letusan gunung Merapi, pembangunan jembatan Suramadu, serta hasil rilis informasi jalur pulang kampung lebaran silam.
Satelit Tubsat dengan ukuran 44x44x25 cm dan berat sekitar 57 kg ini memiliki rute perputaran secara polar empat kali dalam 24 jam.


http://www.lapanrb.org/index.php?option=com_content&view=article&id=95:lapan-garap-satelit-tele-edukasi-ki-hadjar-dewantara&catid=38:news

Tidak ada komentar:

Posting Komentar