Senin, 01 Maret 2010

Teknik Penerbangan

Teknik PenerbanganKurikulum Pendidikan Tinggi harus didasarkan pada pendekatan kompetensi program studi yang berorientasi internasional dan global. Kemudian disusul dengan penjelasan melalui Kep. Mendiknas No. 045/U/2002. Oleh karena itu dalam program studi Teknik Penerbangan pengembangan kurikulumnya berbasis kompetensi lulusan, kemudian pengembangan isi dan materi silabus mulai diberlakukan pada tahun akademik 2002/2003. Disamping itu secara infrastruktur fisik terus menerus dikembangkan seperti fasilitas laboratorium dan kelompok riset. Lulusan program studi Teknik Penerbangan atau Sarjana Teknik Penerbangan dari kurikulum 2002/2003 ini diharapkan dapat memiliki kemampuan terhadap penguasaan dan pemanfaatan teknologi kedirgantaraan seperti merencana, membuat, menggunakan, dan mengelola atau merawat mesin, airframe dan sistem yang berhubungan dengan teknik penerbangan (kedirgantaraan).

Jurusan / Program Studi :
Teknik Penerbangan (Akreditasi B)
Gelar Kesarjanaan :
Sarjana (S-1) Teknik (ST)
Kontak E-mail :
penerbangan@stta.ac.id

Visi Program Studi Teknik Penerbangan

Menjadi institusi yang unggul dan menghasilkan sarjana teknik penerbangan yang profesional, kreatif inovatif, mandiri, berdaya saing global, berwawasan Iptek, bermoral, berkepribadian dan bersemangat dalam memajukan bangsa.



Misi Program Studi Teknik Penerbangan

  1. Mengembangkan Program studi melalui TRI DHARMA Perguruan Tinggi
  2. Membekali mahasiswa dengan Iptek, sehingga mempunyai kemampuan profesional, kretaif inovatif, mandiri, berdaya saing global
  3. Membentuk mahasiswa bermoral, berkepribadian, beretika profesi yang tinggi dalam pengabdian pada masyarakat dan akuntabilitas manajemen program studi serta bersemangat dalam memajukan bangsa.

Tujuan Program Studi Teknik Penerbangan

  1. Menciptakan Sarjana Teknik Penerbangan yang mempunyai kualifikasi:
  2. Memiliki kemampuan profesional, kreatif-inovatif, mandiri, berwawasan Iptek terkini yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja
  3. Memiliki kemampuan - kemampuan dalam bidang perencanaan, pembuatan, penggunaan, dan pengelolaan mesin, airframe, dan sistem yang berhubungan dengan teknik Penerbangan
  4. Memiliki kemampuan-kemampuan menalar, yaitu melakukan analisis dan sintesis permasalahan dan bidang Teknik Penerbangan
  5. Memiliki kepribadian, moral, etos kerja dan disiplin yang tinggi sehingga terbentuk komunitas masyarakat yang berwawasan kedirgantaraan yang maju, sejahtera dan berdaya saing global
  6. Memiliki kemampuan-kemampuan menalar, yaitu melakukan analisis dan sintesis permasalahan dan bidang Teknik Penerbangan

Sabtu, 06 Februari 2010

Lapan Garap Satelit Tele-Edukasi 'Ki Hadjar Dewantara'

Pendidikan jarak jauh? Mungkin hal itu hanya menjadi angan-angan pelajar kita. Kalau pun sudah bisa dinikmati, bisa dipastikan hanya segelintir pelajar dan mahasiswa yang mampu saja. Maklum, untuk mengakses pendidikan jarak jauh, diperlukan berbagai piranti yang didukung dengan biaya mahal.
Namun, dalam waktu dekat, pendidikan jarak jauh dimungkinkan bisa diakses semua pelajar dan mahasiswa di Indonesia. Hal itu bisa terwujud, karena saat ini Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) tengah menggarap satelit tele-edukasi yang bernama satelit Ki Hadjar Dewantara.
Satelit tele-edukasi Ki Hadjar Dewantara merupakan salah satu dari banyak program pengembangan roket dan satelit sebagai wujud nyata kemajuan dunia antariksa Indonesia.
Kepala Lapan, Adi Sadewo Salatun, menyebutkan penggarapan satelit yang bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional ini memang masih dalam tahap studi kelayakan dan penentuan definisi misi dari satelit itu sendiri.
Namun begitu, Adi memberikan sedikit bocoran bahwa satelit Ki Hadjar Dewantara rencananya akan digunakan untuk menunjang program tele-education atau pendidikan jarak jauh untuk siswa siswi sekolah di Indonesia.
“Satelit ini berfungsi untuk menghadirkan pendidikan berkualitas dari perkotaan ke pedesaan yang sulit dijangkau karena masalah infrastruktur pendidikan. Nantinya, fasilitas transponder pada satelit memungkinkan pengajar melakukan komunikasi kepada siswa yang berada dalam cakupan seluruh Indonesia bahkan se-Asia,” kata Adi Senin(9/11), pekan kemarin.
Tidak murah untuk menggarap proyek satelit tele-edukasi Ki Hadjar Dewantara ini. Setidaknya, Lapan membutuhkan dana sebesar 200 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau Rp 1,8 miliar. Namun dana sebesar itu, sepenuhnya bakal ditanggung Dinas Pendidikan Nasional.
Sistem Satelit Ki Hadjar Dewantara terdiri dari ruas antariksa yang berupa satelit yang di dalamnya ada fasilitas transponder untuk melakukan komunikasi dan ruas bumi yang terdiri dari antena pengirim dan penerima isi komunikasi.
Satelit ini nantinya memfasilitasi diseminasi pengetahuan perkotaan ke pedesaan mengenai kesehatan, kebersihan dan pengembangan kepribadian. Selain itu, satelit yang rencananya akan diluncurkan dioperasikan pada 2014 ini bisa juga dimanfaatkan untuk membantu para profesional dalam meningkatkan pengetahuan, serta menjadi solusi permasalahan kurangnya tenaga pengajar terlatih di wilayah terpencil.
Proyek satelit tele-edukasi Ki Hadjar Dewantara sebenarnya merupakan proyek satelit terbaru setelah dua satelit Lapan bakal diluncurkan 2011 mendatang. Kedua satelit yang bakal meluncur tahun 2011 itu adalah satelit Lapan-A2 dan Orari. Lapan menyebut kedua satelit itu dengan nama Twinsat atau satelit kembar.
Sebelumnya, pada 2007 Lapan telah berhasil membuat satelit Tubsat yang hingga saat ini masih beroperasi dengan baik. Tubsat yang merupakan satelit mikro pertama milik Lapan tercatat telah banyak memberikan data berupa video pengamatan dari berbagai wilayah di Indonesia maupun dari luar negeri.
Namun, Thubsat hanya bisa melewati wilayah Indonesia sebanyak empat kali dalam 24 jam karena berada pada orbit polar. Artinya Thubsat berputar dari kutub ke kutub.
Oleh karena itu, agar bisa mengamati wilayah Indonesia lebih luas lagi, maka Lapan pun meluncurkan satelit kembar. Berbeda dengan Thubsat, Satelit Lapan-A2 dan Orari akan ditempatkan pada orbit equatorial.
“Satelit kembar mengitari orbit equatorial, fokus mengamati wilayah Indonesia. Dengan berputar pada orbit equatorial, pengamatan wilayah Indonesia dapat dilakukan dengan lebih sering karena satelit akan melewati wilayah Indonesia hingga 14 kali sehari,” kata Adi Sadewo.
Satelit Kembar
Adi menyebutkan dua satelit ini memiliki fungsi yang saling melengkapi. Satelit Lapan-A2 mempunyai fungsi melakukan pengamatan permukaan bumi, sedangkan satelit Orari mempunyai misi bantuan komunikasi saat bencana dan penginderaan jauh.
Satelit kembar mulai digarap pada 2007 dan siap diluncurkan di India pada Tahun 2011, bekerjasama dengan lembaga antariksa India, ISRO (Indian Space Research Organization). Sama seperti peluncuran Thubsat, Lapan membonceng roket PSLV milik India.
“Kita masih harus membonceng atau istilahnya piggybacking menggunakan roket India. Pasalnya, roket kita baru rampung 2014 dan belum bisa dipakai untuk meluncurkan satelit. Kebetulan India melakukan peluncuran satelit Astrosat miliknya pada 2011, maka Lapan kemudian membonceng roket PSLV untuk meluncurkan kedua satelit itu,” kata Adi.
Adi juga menyebutkan kalau roket PSLV memiliki trayek yang persis melewati wilayah Indonesia karena mengelilingi equator pada 6 derajat inklinasi. Dengan demikian, dua satelit Lapan yang masing-masing memiliki bobot 70 kg itu bisa berputar secara equatorial di wilayah khatulistiwa.
Menurut Adi, sejak diluncurkan pada 2007 silam, satelit Tubsat telah memberikan banyak manfaat terutama dalam penginderaan jauh serta telekomunikasi bagi pemantauan pertanian dan kelautan Indonesia.
“Hingga saat ini kondisinya masih sangat baik. Tubsat menjadi satu-satunya satelit di dunia yang menghadirkan data berupa video, yang ditayangkan secara langsung,” kata Adi Sadewo.
Untuk satelit biasa, setidaknya dibutuhkan waktu hingga 15 hari untuk menerima gambar. Namun, satelit Tubsat memiliki kelebihan dengan menghadirkan data dalam bentuk video secara langsung pada saat kejadian (real time).
Beberapa hasil video rekaman Tubsat yang sangat berguna di antaranya, rekaman pada saat terjadi letusan gunung Merapi, pembangunan jembatan Suramadu, serta hasil rilis informasi jalur pulang kampung lebaran silam.
Satelit Tubsat dengan ukuran 44x44x25 cm dan berat sekitar 57 kg ini memiliki rute perputaran secara polar empat kali dalam 24 jam.


http://www.lapanrb.org/index.php?option=com_content&view=article&id=95:lapan-garap-satelit-tele-edukasi-ki-hadjar-dewantara&catid=38:news

Jumat, 05 Februari 2010

NACA Airfoil


Pernahkah kita liat bentuk atau model airfoil dari sayap suatu pesawat..? dan pernahkah kita mencoba bandingkan bentuk airfoil satu pesawat dengan pesawat lainnya kenapa bisa berbeda-beda..? Yaa..itu lah bentuk dari seri NACA airfoil suatu sayap pesawat.

NACA (National Advisory Committe for Aeronautics) merupakan standar dalam perancangan suatu airfoil. Perancangan airfoil pada dasarnya bersifat khusus dan dibuat menurut selera serta sesuai dengan kebutuhan dari pesawat yang akan dibuat. Akan tetapi NACA menggunakan bentuk airfoil yang disusun secara sistematis dan rasional. NACA mengidentifikasi bentuk airfoil dengan menggunakan sistem angka kunci seperti seri “ satu “, seri “ enam ”, seri “ empat angka “, dan seri “ lima angka “.

Berikut adalah identifikasi angka-angka dari seri NACA tersebut :

1. Seri “ Satu “

  • Angka pertama adalah menunjukkan serinya.
  • Angka kedua menunjukkan letak tekanan minimum dalam persepuluh chord dari trailing edge.
  • Angka ketiga menunjukkan koefisien gaya angkat (cl) rancangan dalam persepuluh chord.
  • Dua angka terakhir menunjukkan maximum thicknes atau ketebalan maksimum dalam perseratus chord.

Contoh airfoil dengan NACA 16-123, angka 1 adalah serinya (seri satu angka), memiliki letak tekanan minimum 60 % chord dari trailing edge, memiliki koefisien gaya angkat rancangan 0.1 dan mempunyai ketebalan maksimum 23 % chord.

Gambar airfoil NACA seri ” satu “

2. Seri “ Enam “

  • Angka pertama menunjukkan serinya.
  • Angka kedua menunjukkan letak tekanan minimum dalam sepersepuluh chord dari trailing edge.
  • Angka ketiga menunjukan koefisien gaya angkat (cl) rancangan dalam sepersepuluh chord.
  • Dua angka terakhir adalah maksimum thickness dalam seperseratus chord.

Misalnya untuk airfoil dengan NACA 65-218, angka 6 adalah serinya (seri enam angka), tekanan minimum terjadi pada 0.5c untuk distribusi tebal simetrik/dasar pada gaya angkat nol, memiliki koefisien gaya angkat rancangan cl 0.2c, dan tebal maksimum 18% chord. Airfoil jenis ini dirancang sebagai airfoil laminar untuk kecepatan tinggi, dirancang untuk menghasilkan clmax yang tinggi dan cd yang lebih rendah pada cl yang tinggi.

Gambar airfoil NACA seri ” enam “

3. Seri “ Tujuh “

  • Angka pertama adalah serinya.
  • Angka kedua adalah letak tekanan minimum pada bagian upper surface perseratus chord.
  • Angka ketiga adalah letak tekanan minimum pada bagian lower surface perseratus chord.
  • Satu huruf menunjukkan profil standar dari airfoil.
  • Angka kelima adalah koefisien gaya angkat rancangan dalam persepuluh chord.
  • Dua angka terakhir adalah ketebalan maksimum dalam perseratus chord.

Contoh airfoil NACA 71-2A315, angka 7 adalah serinya, mempunyai letak tekanan minimum 10 % chord dari trailing edge pada upper surface, letak tekanan minimum pada lower surface pada 20 % chord dari trailing edge, menggunakan standar “ A “ airfoil, memiliki koefisien gaya angkat rancangan 0.3, dan mempunyai ketebalan maksimum 15 % chord.

4. Seri “ Delapan “

Identifikasi pada airfoil ini sama dengan airfoil pada seri 7, namun angka 8 merupakan serinya. Airfoil seri delapan merupakan airfoil superkritis, di desain supaya aliran udara yang melewati bagian upper dan lower surface pada airfoil dibuat lebih maksimum dan drag yang dihasilkan seminim mungkin. Ciri-ciri airfoil ini mempunyai chamber yang besar dan radius yang besar pada leading edge, biasanya digunakan pada pesawat yang mempunyai kecepatan transonic (1>M>1).

5. Seri “ Empat angka “

  • Angka pertama adalah maksimum camber dalam perseratus chord.
  • Angka kedua adalah posisi maksimum camber pada chord line dalam sepersepuluh chord dari leading edge.
  • Dua angka terakhir dalam maksimum thickness dalam seperseratus chord.

Misalnya untuk airfoil dengan NACA 2412 (seri empat angka) memiliki camber maksimum 0.02c terletak di 0.4c dari leading edge, dan maximum thickness atau tebal maksimum 0.12c. Dalam praktek, umumnya angka-angka ini dinyatakan dalam persen tali busur, yaitu : camber 2% di 40% c dengan tebal 12%.

Gambar airfoil NACA seri “empat angka”

Untuk airfoil simetris, yang mempunyai bentuk tali busur yang sama antara bagian atas dengan bagian bawahnya merupakan airfoil dengan chamber nol. Contohnya adalah airfoil dengan NACA 0012, memiliki chamber dengan nilai yang nol dan mempunyai tebala maksimum 12%.

Gambar airfoil NACA simetris

6. Seri “ lima angka “

  • Bila angka pertama dikalikan 3/2 memberikan koefisien gaya angkat (cl) rancangan dalam sepersepuluh.
  • Dua angka berikutnya, bila dibagi dua menunjukan letak maksimum camber di chord line dalam seperseratus chord diukur dari leading edge.
  • Dua angka terakhir menunjukan maksimum thickness dalam seperseratus chord.

Misalnya untuk airfoil dengan NACA 23012, memiliki koefisien gaya angkat rancangan 0.3, chamber maksimum terletak di 0.15c, dan tebal maksimum 0.12c. Koefisien gaya angkat rancangan adalah koefisien gaya angkat teoritis airfoil dengan arah aliran bebas sejajar dengan garis singgung mean chamber line di leading edge.

Gambar airfoil seri NACA “lima angka”

Sumber :

http://en.wikipedia.org/wiki/National_Advisory_Committee_for_Aeronautics

http://en.wikipedia.org/wiki/NACA_airfoil

Mungkinkah Indonesia Membuat Pesawat Tempur Sendiri


Mungkin judul diatas terkesan terlalu berlebihan bila mengaca pada kondisi negara kita saat ini, tetapi bila melihat pembelian pesawat tempur beberapa tahun belakangan ini, yang sepertinya tidak memiliki blue print yang baik, sehingga pembelian tersebut terkesan tanpa adanya perencanaan yang matang, nampaknya perlu dipikirkan sebuah upaya untuk membuat pesawat tempur buatan Indonesia. Kita ambil contoh pembelian 2 Su 27 dan 2 Su 30 yang sampai detik ini belum dipersenjatai, walaupun pernah terdengar adanya isu yang menyatakan bahwa proses pembelian persenjataan untuk ke empat Sukhoi sudah dilakukan dan tinggal menunggu kedatangan dari Rusia saja. Atau kalau kita mau mengingat pembelian 6 pesawat Sukhoi yang dilakukan dan diumumkan kepada publik pada pameran kedirgantaraan di Rusia beberapa waktu yang lalu, yang hingga kini tidak jelas kelanjutannya. Atau sebuah berita hangat yang tiba-tiba muncul tidak terduga yang menyatakan bahwa TNI- AU sedang mengkaji pembelian 24 Mirage 2000 dari Qatar.

Apakah Indonesia memiliki kemampuan untuk membuat pesawat tempur sendiri? Well, saya bukanlah seorang yang memiliki kemampuan untuk membuat pesawat, saya hanyalah satu dari sekian banyak masyarakat Indonesia yang prihatin tentang kondisi pesawat TNI AU saat ini yang tidak mampu melindungi wilayah Indonesia yang sangat luas. Jika kita berbicara tentang pesawat maka kita akan berbicara tentang PT Dirgantara Indonesia (PTDI), dan mampukah PTDI membuat pesawat tempur?? Mari kita “mengosongkan” pikiran tentang masalah-masalah yang masih menghinggapi PTDI dan berpikiran positif “bahwa dimana ada kemauan maka disitu ada jalan”. Sebagai perusahaan yang mempu merakit body pesawat komersil pesanan pabrikan luar negeri, tentu tidak ada masalah saat PTDI merakit body pesawat tempur. Lantas bagaimana dengan kemampuan PTDI untuk merancang bangun pesawat tempur? Apakah PTDI mampu membuat rancang bangun sebuah pesawat? Tentu kita tidak akan terlalu berharap bahwa pesawat tempur produksi PTDI yang pertama akan memiliki kemampuan seperti F-16 apalagi Su-30, memiliki kemampuan setingkat F-5 atau A-4 saja sudah lebih dari cukup, untuk yang satu ini saya sangat yakin para ahli yang bekerja di PTDI mampu membuatnya. Tetapi bagaimana kalau ternyata PTDI tidak mampu merancang bangun pesawat sendiri? Kalau kita mau memperhatikan perkembangan kemampuan Negara-Negara lain untuk membuat pesawat tempur sendiri, maka kita akan melihat bahwa Israel dan China sekalipun pernah mengcopy pesawat tempur yang diproduksi Negara lain yang kemudian diterapkan untuk pesawat tempur buatannya sendiri. Saat ini kita masih memiliki F-5 yang masih aktif maupun A-4 yang sudah digrounded, bagaimana kalau pesawat-pesawat itu dibawa ke hangar PTDI kemudian “dibedah” isinya sehingga PTDI bisa merancang bangun sebuah pesawat sendiri. Dan kalau mencopy kita anggap sebagai suatu hal yang tabu, maka tentu PTDI harus merombak dibeberapa tempat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki PTDI dan bisa meminta saran kepada pilot pesawat tempur TNI AU. Jika Negara seperti Israel dan China saja berani mengcopy pesawat tempur buatan Negara lain, kenapa kita tidak berani dan mau melakukannya?

Setelah urusan body pesawat selesai, kita akan berbicara tentang mesin, radar, kursi lontar dan senjata yang mampu diusungnya. Untuk hal yang satu ini tentu PTDI akan bekerjasama dengan pabrikan diluar negeri, toh pesawat tempur yang diproduksi Lockheed Martin, mesinnya dibuat oleh pabrikan lain. Dan kalau ternyata Negara eropa barat tidak berkenan bekerjasama dengan PTDI, maka kita tentu dapat berpaling ke Rusia untuk memenuhi kebutuhan itu. Saya termasuk seseorang yang percaya bahwa “jika seorang anak tidak berani jatuh saat belajar berjalan, maka ia tidak akan pernah mampu untuk berjalan”, artinya jika dalam pembuatan pesawat tempur buatan Indonesia ini mengalami hambatan atau setelah pesawat ini jadi ternyata performanya mengecewakan, hendaknya tidak berpikiran bahwa kita tidak mampu membuat pesawat tempur sendiri, tetapi menjadi pembelajaran bagi kita untuk membuat pesawat yang lebih baik.

Dalam tulisan saya diatas, saya tidak menyinggung soal dana pembuatan pesawat ini, karena orang terkaya di Indonesia sekalipun tidak memiliki kekayaan melebihi kekayaan pemerintah, maka tentu saja pendanaan kembali bergantung kepada pemerintah. Untuk yang satu ini saya hanya bisa berharap perekonomian Negara kita bisa lebih baik di masa yang akan datang, sehingga bisa menyisihkan anggaran untuk program ini dan dalam jangka panjang semoga Negara ini lebih memiliki kepedulian yang besar terhadap industri pertahanan dalam negeri.
Pembaca Angkasa yang budiman, sebagai pembaca majalah Angkasa tentu anda memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang kondisi pesawat TNI AU dibanding masyarakat lain, maka saya berharap teman-teman yang bekerja di PTDI, Media, Parlemen, di Departemen-Departemen terkait dan Pemerintah Pusat mau menggelorakan semangat kemandirian untuk membuat pesawat tempur sendiri. Atau jika 5, 10 atau 20 tahun nanti dimasa yang akan datang ada teman-teman pembaca Angkasa yang menjadi Dirut PTDI atau bahkan menjadi Presiden Republik Indonesia saya berharap teman-teman dapat memimpin proyek pembuatan pesawat tempur buatan Indonesia.

Akhir kata, kita adalah bangsa yang besar, tetapi kemampuan kita untuk melindungi diri sendiri pada saat ini berada pada titik nadir, jika bukan kita yang menjaga bangsa ini lalu siapa??

Foto : -Sukhoi, indoflyer.net Photos Division – Image copyright (Eddy Feebruanto Putra)

- A-4, Image copyright (Deon)


Jumat, 01 Januari 2010